KB dalam Perspektif Islam
Salah satu tujuan pernikahan adalah memiliki keturunan dan Islam menyukai banyaknya keturunan dikalangan umatnya. Lantas, Halal atau haramkah KB?
KB (Keluarga Berencana), program pemerintah untuk mencegah kehamilan guna membatasi keturunan, memberi jarak kelahiran dan menekan pertumbuhan penduduk. Pertambahan penduduk di Indonesia berdasarkan sensus BPS tahun 2000 hingga 2010 bertambah sebanyak 1,49%. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 kemarin, sebanyak 237.6jt jiwa. Dapat dibayangkan betapa padatnyna Indonesia kedepannya apabila penduduknya tidak membatasi kelahiran keturunannya.
KB dewasa ini sangatlah penting bagi kesejahahteraan masyarakat Indonesia ke depannya. Istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ dizaman sekarang ini kuranglah pas, dengan membatasi keturunan, kita ikut membantu pemerintah mengentas pertumbuhan penduduk yang melaju kencang setiap tahunnya. Dengan penduduk yang tumbuh seimbang maka berpengaruh dalam segi ekonomi, sosial dan aspek lainnya. Bagaimana pandang Islam tentang KB? Sebelumnya lebih baik kita mengetahui secara jelas apa maksud dan tujuan pernikahan dalam Islam.
Pernikahan
Tujuan utama dari pernikahan dalam agama Islam adalah untuk mendapatkan keturunan dan menghindari dari perbuatan zina. Oleh karena itu, dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menikahi wanita yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan.
Dari sebuah hadits shahih Imam Ahmad dari Anas bin Malik diriwayatkan: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk tidak menikah. Beliau kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya” (HR. Ahmad).
Bahkan, bukan hanya itu, dalam sebuah hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai, dari Ma’qal bin Yasar, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan seorang wanita dari keturunan yang sangat baik dan sangat cantik, akan tetapi dia mandul (tidak dapat hamil), apakah saya boleh menikahinya?” Rasulullah saw menjawab: “Nikahilah oleh kamu (perempuan) yang penyayang dan subur, karena aku kelak pada hari Kiamat yang paling banyak ummatnya”.1
Hadits ini bukan berarti melarang menikahi wanita yang tidak subur, melainkan alangkah lebih baiknya bila menikahi wanita-wanita subur yang dapat melahirkan dan menghasilkan keturunan. Jelaslah, bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan.
Dari sebuah hadits shahih Imam Ahmad dari Anas bin Malik diriwayatkan: “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menikah, dan melarang dengan sangat keras untuk tidak menikah. Beliau kemudian bersabda: “Nikahilah oleh kalian (perempuan) yang penyayang dan subur untuk memperoleh keturunan, karena sesungguhnya saya kelak pada hari Kiamat adalah yang paling banyak ummatnya” (HR. Ahmad).
Bahkan, bukan hanya itu, dalam sebuah hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai, dari Ma’qal bin Yasar, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan seorang wanita dari keturunan yang sangat baik dan sangat cantik, akan tetapi dia mandul (tidak dapat hamil), apakah saya boleh menikahinya?” Rasulullah saw menjawab: “Nikahilah oleh kamu (perempuan) yang penyayang dan subur, karena aku kelak pada hari Kiamat yang paling banyak ummatnya”.1
Hadits ini bukan berarti melarang menikahi wanita yang tidak subur, melainkan alangkah lebih baiknya bila menikahi wanita-wanita subur yang dapat melahirkan dan menghasilkan keturunan. Jelaslah, bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan.
Hukum KB dalam Islam
Islam tidak melarang umatnya untuk mengatur keturunan, dengan catatan ‘adanya alasan yang kuat’. Menurut Al-Qaradhawi, ada alasan-alasan untuk berkeluarga berencana. Di antaranya, kekhawatiran kondisi kesehatan ibu bila hamil atau melahirkan setelah penelitian dan pemeriksaan dokter yang dapat dipercaya. Ia mengutip AlBaqarah ayat 195, agar seseorang tak menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan umatnya berbuat hal yang melahirkan maslahat dan tak mengizinkan sesuatu yang menimbulkan bahaya. Menurut Al-Qaradhawi, di masa kini sudah ada beragam alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kebaikannya. Beliau ingin melindungi anak yang masih menyusu dari bahaya dan kurangnya kasih sayang orang tua. Dengan dasar inilah, jarak yang pantas antara dua anak adalah sekitar 30 atau 33 bulan bagi mereka yang berkeinginan menyempurnakan susuannya. Imam Ahmad menuturkan, semuanya tentu saja tergantung dari istri. Sebab, istrilah yang lebih berhak atas anaknya. Istri juga mempunyai hak bersenang-senang.
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui fatwa tarjih menjelaskan, Islam menganjurkan agar kehidupan anak-anak jangan sampai telantar sehingga menjadi tanggungan orang lain. Ayat tersebut mengingatkan agar orang tua selalu memikirkan kesejahteraan jasmani dan rohani anak-anaknya.
Hal ini tertuang dalam surat An-Nisa ayat 9, “Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menjelaskan, dalam keadaan tertentu Islam tidak menghalangi pembatasan kelahiran melalui penggunaan obat pencegah kehamilan atau caracara lainnya. “Pembatasan kelahiran diperbolehkan bagi lakilaki yang beranak banyak dan tak sanggup lagi menanggung biaya pendidikan anaknya dengan baik,” tambahnya. Demikian pula jika keadaan istri sudah lemah, mudah hamil, serta suaminya dalam kondisi miskin. Dalam keadaan semacam ini, ujar Sabiq, diperbolehkan membatasi kelahiran. Sejumlah ulama menegaskan pembatasan kelahiran tak sekadar diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Imam Al-Ghazali membolehkan hal itu jika istri merasa khawatir akan rusak kecantikannya. Dalam kondisi tersebut, suami dan istri berhak memutuskan untuk melakukan pembatasan. Ada pula ulama yang mengatakan pembatasan bisa dilakukan tanpa syarat apa pun yang mendasarinya.2
Metode KB
Sejak zaman Rasulullah, Islam telah mengenal istilah ‘azl, mengelurkan sperma di luar vagina, biasa disebut juga senggama terputus. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dijelaskan, para sahabat menyatakan bahwa mereka biasa melakukan azl pada masa Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab an-Nikaah hadits al-Bukhari dari Jabir, dikatakan: “Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shhallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan (ayat-ayat) al-Quran (masih) turun”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: “ Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan: ‘Aku mempunyai sahaya wanita, dan aku biasa melakukan ‘azl darinya, sedangkan aku menginginkan sesuatu seperti yang diinginkan laki-laki. Kaum Yahudi mengklaim bahwa ‘azl adalah penguburan kecil terhadap bayi hidup-hidup.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kaum Yahudi berdusta. Seandainya Allah berkehendak untuk menciptakannya maka tidak mampu menolaknya.’”
Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, “Aku mempunyai sahaya wanita, dia pelayan kami dan yang menyirami pohon kurma kami. Aku biasa menggaulinya, dan aku tidak suka jika dia hamil.” Maka, beliau menjawab: “Ber-’azllah darinya, jika engkau suka. Sebab, akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya.” Orang ini pun melakukannya. Beberapa waktu kemudian, dia datang kepada beliau seraya mengatakan: “Sahaya wanitaku telah hamil.” Beliau mengatakan: “Aku telah mengabarkan kepadamu bahwa akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya.” Maksudnya adalah dalam hubungan intim dengan cara azl terkadang ada setetes sperma yang menyebabkan kehamilan. Karena jika Allah telah menciptakan anak, maka ‘azl tidak dapat menghalangi-nya. Adakalanya ‘air’ lebih dulu masuk dan tidak disadari oleh orang yang melakukan ‘azl, sehingga terbentuklah segumpal darah lalu menjadi janin. Jadi, manusia hanya bisa berencana tapi semua dikembalikan lagi atas kehendak Allah SWT.
Dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih, mengatakan: “Wanita merdeka diminta izinnya untuk melakukan ‘azl dan hamba sahaya tidak diminta izinnya.” ‘Azl dilakukan harus dengan izin istri, karena dikhawatirkan akan membawa kerugian pada dirinya, yaitu tidak mendapatkan kenikmatan saat berhubungan intim.
Syaikh al-Albani mengomentari hadits-hadits dan pendapat-pendapat tersebut, menurutnya: isyarat ini hanyalah dengan memperhatikan ‘azl yang dikenal pada waktu itu. Adapun pada masa sekarang telah ditemukan sejumlah sarana yang dengannya seorang pria dapat mencegah air mani masuk ke dalam rahim isterinya secara pasti. 3
Kesimpulan
Walaupun belum ada alat kontrasepsi, pada zaman Rasulullah telah mengenal KB dengan ‘azl. ‘Azl diperbolehkan apabila mempunyai alasan yang kuat, niat yang baik dan harus seizin sang istri agar tidak ada yang merasa dirugikan, baik pihak istri maupun suami, dalam hal kepuasan dan lain sebagainya. Itu artinya, KB bersifat makruh, halal untuk dilakukan tetapi tidak di anjurkan dan sebaiknya tidak dilakukan apabila tidak dengan suatu alasan yang kuat, yaitu kesehatan istri dan anak, mengatur kelahiran jarak anak agar bisa total memberikan kasih sayang dan kesejahteraan anak-anaknya kelak. Dan akan menjadi haram hukumnya apabila dilakukan tanpa alasan yang jelas, seperti bila mempunyai banyak keturunan takut miskin dan menjadi fakir. Juga niat yang tidak baik, seperti takut memiliki keturunan karena berhubungan intim dengan pasangan yang tidak sah dimata hukum maupun agama. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-Albani bahwa zaman sekarang ini banyak alat untuk mencegah sperma masuk kedalam rahim. KB memiliki beragam alat kontrasepsi, mulai dari yang diminum, dimasukkan lewat suntikan, dimasukkan kedalam rahim, dan lain sebagainya. Suami dan istri bebas memilih alat kontrasepsi yang menurutnya paling nyaman dan aman bagi mereka tanpa merugikan satu sama lain. Dengan catatan: menggunakan KB dengan niat dan alasan yang baik. Wallahu a’lam.
Reff. [1] penerbitzaan.com [2] republika [3] almanhaj.or.id
(Palu, 31 Januari 2012. fatimah thamrin)
No comments:
Post a Comment